DaemonD #2 -=ConfUse=-



Masih menggunakan latarbelakang lagu yang sama, saya langsung saja meneruskan cerita ini.

            Reza yang berlari mengikuti insting akan keberadaan ayahnya tidak menyadari bahwa dirinya sedang di ikuti oleh salah seorang dari tentara Z.I. Bahkan, hujan yang begitu lebat sepertinya tidak sedikitpun mengurangi langkahnya untuk menemukan ayah yang di cintainya.
Di lain pihak Andi dan Rahma yang mengikuti Reza mulai merasa kehilangan jejak karena butiran permen yang ditinggalkan sedikit demi sedikit lenyap dari pandangan seakan-akan tersapu oleh derasnya hujan saat itu. Mereka pun sempat terhenti untuk berfikir sejenak untuk mengambil keputusan untuk terus mengikutinya atau kembali kedesa untuk mencari sisa kehidupan dari puing-puing reruntuhan karena sudah tidak mungkin mengejar bila ceceran butiran permen yang menjadi satu-satunya petunjuk semakin lama semakin menghilang.

Rahma       : ‘Gimana nih Andi, permennya semakin menghilang ? kita tidak mungkin terus mengikutinya.”
Andi          : “Aku juga tidak tahu, apa kita kembali ke desa ?”
Rahma       : “Kembali ? lalu pesan kakek itu ?”
Andi          : ”Oh ya Aku lupa, lalu bagaimana ?” (sembari mencari ide)
Rahma       : ”Bagaimana apanya ? ayo berfikir...”
Andi          : ... (melamun)
Rahma       : “Hey Andi, malah melamun di saat seperti ini” (membentak)
Andi          : “WAAAAHHH!!!!”
Rahma       : “Apa ?!??” (terkejut)
Andi          : “Ayo ikut !”
Rahma       : “Tapi kemana, tidak ah”
Andi          : “Ayo ikut saja, aku dapat ide !” (bersemangat)
Rahma       : “A...”

Sebelum Rahma sempat menjawab, Andi menariknya masuk kehutan. Sampai tembus kesebuah tebing tinggi yang tak begitu landai.

Andi          : “Ini dia jalan keluar kita !”
Rahma       : “Maksudnya ?”
Andi          : “Bila kita tidak bisa mengikutinya dari bawah, kita mengikutinya dari atas.”
Rahma       : “Caranya ?”
Andi          : “Tenang saja, kau tahu akukan ? Kalau aku telah mengeluarkan ide tak pernah setengah-setangah”

Andi berlari ke sebuah batu besar sekaligus sedikit menggesernya dan sepertinya sedang mencari-cari sesuatu.

Rahma       : “Kau sedang pa, Ndi ?”
Andi          : “Tunggu saja. Aha, ini dia !” (Sambil menunjukan sesuatu)
Rahma       : “Tali untuk memenjat tebing ? Kau dapat dari mana, tempat inikan belum pernah kau sambangi ?”
Andi          : “Kata siapa ? Ini tempat biasa aku berbuat jahil” (memasangnya dan tersenyum lebar atas apa yang diucapkannya)
Rahma       : “Jahil ? Oh, ternyata kamu yang suka menjahili pemenjat-pemanjat tebing yang biasanya berkunjung ke desa ? Apakah tali ini juga kamu yang mencurinya ? Pantas saja banya pemanjat yang mengeluh akan banyaknya berang mereka yang hilang”
Andi          : “Ah itu semua tidak penting sekarang ! kaselamatan sahabat kita itu hal yang terpenting sekarang”
Rahma       : .... (terdiam)
Andi          : “Ah sudah siap, silahkan wanita terlebih dahulu... kau siap ?”
Rahma       : “...., aku takut ketinggian”
Andi          : “Apa ? takut ? ini jalan satu-satunya untuk menemukan Reza...Tak ada waktu lagi, ingat pesan kakek itu ?” (marah)
Rahma       : “Tapi...”
Andi          : “sudah tak ada waktu, kalau serti ini, sia-sia kita sampai di sini. Intinya jangan lihat kebawah !”
Rahma       : “Baik, sebenarnya perasaan takut itu masih kerap muncul. Tapi, ini demi sahabat, akan lain ceritanya !” (memegang tali dan siap untuk memanjat)

Di tengah-tengah tebing, ada lebah yang mengganggu Rahma yang sedang memanjat dan ketika mencoba untuk mengusirnya tanpa sengaja Rahma malah melihat kebawah sehingga rasa takut akan ketinggiannya muncul kembali  Rahma pun berhenti memanjat..

Andi          : “Ada apa Ma ?”
Rahma       : “Aku tak bisa lanjutkan ini. Rasa takut itu muncul kembali”
Andi          : “Apa ? Sudah ku bilang jangan lihat kebawah !”
Rahma       : “Aku tak sengaja melihatnya dan sekarang rasa takutku kembali muncul, bagaimana ini ?”
Andi          : “Bagaimana apanya ? ayo teruis panjat.”
Rahma       : “Tidak, aku todak sanggup !” (membentak)
Andi          : “Sekakarang ikuti instruksiku ! Pejamkan mata, ambil nafas dalam-dalam dan hembuskan perlahan.”
Rahma       : .... (melakukan apa yang diperintahkan Andi)
Andi          : “Perlahan-lahan anggaplah tali yang kau peggang ini seperti sedang mengambil air dari sumur yang setiap hari kau lakukan” (melanjutkan perkataannya)
Rahma       : “Ya aku bisa !” (sambil memejamkan mata dan memanjat)
                       
Rahma pun berhasil mendaki sampai ke puncak tebing yang di lanjutkan oleh Andi. Sesampainya dipuncak, mereka segera bergegas melihat sekeliling untuk mencari keberadaan Reza, temannya.
Disisi lain, insting akan kebaradaan ayahnya mengantarkan Reza sampai ke lembah yang luas. Dari kejauhan terlihat seperti ada 2 seseorang sedang bertarung, dengan rasa penasaran Reza berusaha mendekat. Tetapi usahanya untuk mendekat seperti sia-sia, semakin mendekat semakin banyak lubang-lubang cukup besar dengan kedalam yang lumayan untuk mengurung orang dewasa di dalamnya.
Namun, rasa penasaran Reza seperti telah menutup semua rasa takutnya, meski sudah hampir jatuh berkali-kali, terpeleset, hingga tergores benar-benar tidak menyurutkan niatnya untuk lebih mendekat. Setelah hampir 300 meter dekatnya, Reza menemukan sebongkah batang pohon jati tua yang sudah lapuk termakan usia di dekat dinding lembah, untuk tempat mengamati  dan bersembunyi.
Reza yang bersembunyi di batang pohon tua itu mulai mengamati apa yang sebenarnya terjadi di sana. Alangkah terkejutnya ternyata yang Reza lihat disana adalah ayahnya, Anton yang sedang betarung mati-matian dengan pemimpin tertinggi Z.I Arzetta voltage yang langsung turun tangan menghadapi Ayahnya untuk tujuan yang sama sekali tidak diketahui olehnya. Dari penampilan ayanya Reza melihat ada yang berbeda, pedang yang di pakai oleh ayahnya bukanlah pedang biasa. Ukurannya yang kecil dengan ujung kotak menyiku, berwarna hitam legam, dan mengeluarkan semacam listrik berarna merah ketika digunakan. Dan dari pertarungan tersebut berkali-kali Arzetta meminta ayahnya untuk menyerahkan ‘Kristal’ dan menukarnya dengan desa yang akan di kembalikan seperti semula. Tentu saja hal tersebut mengundang beribu pertanyaan dibenak Reza.

“Siapa ayah ?”
“Pedang apa itu ?”
“Kenapa untuk menaklukan desa sekecil ini sang pemimpin rela terjun lansung ke pertarungan ?”
“Kristal itu apa ?”
“Apa yang sebenarnya terjadi ?”

            Sebelum semuanya terjawab, seseorang dari tentara Z.I yang semenjak tadi mengikutinya akhirnya menangkap basah Reza yang sedang bersembunyi di balik batang jati itu. Ternyata pasukan Z.I itu adalah ketua divisi 7, Anggi periasih. Seorang wanita berparas cantik namun licik yang bermarkas di jawa bagian selatan Anggi sengaja di libatkan dalam penyerangan ini untuk membantu dalam hal persenjataan. Selain itu, Anggi memiliki kekuatan untuk mengendalikan gravitasi di kedua telapak tangannya dengan menggunakan gelang Zwarte. Anggi yang begitu licik, mencekik Reza dengan tangan kanannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

Anggi        : “Wah-wah, ternyata ada penguping disini ? Apakah ini anakmu Anton ?”
Anton        : “Apa ? Reza, Kenapa kau ada disini ?”
Reza          : “Aagh, Reza kem...” (pembicaraannya terhenti karena cekikan bertambah kuat)
Anggi        : “Serahkan Kristal atau anakmu mati !”
Anton        : “TIDAK !!!”

Di waktu yang sama, Andi dan Rahma sebanarnya sudah melihat semua yang terjadi pada Reza, sahabatnya. Meraka tak memiliki daya apa-apa untuk menolong sahabatnya. Bahkan, Rahma menangis karena merasa bersalah, terlambat untuk menghentikan sahabatnya itu. Tapi, berbeda dengan Andi, dia merasa semua belum terlambat dan masih bisa menolong temannya. Andi mempunyai sebuah siasat, tapi dia merasa siasatnya hanya akan berhasil 15:85 saja.

:: Apa siasat Andi ?
:: Siapakah ayah Reza ?

Gelang Zwarte : Sebuah gelang yang terbuat dari berlian hitam murni yang disusupi sedikit kekuatan supranatural dari parel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ingat ! boleh copas tapi cantumkan link balik saya ! kalau tidak saya tidak segan-segan mencaci maki anda di tread forum atau di blog anda !